Madrasah hebat bermartabat- Lebih baik madrasah - Madrasah lebih baik

Breaking News
Showing posts with label Al-Khidmah. Show all posts
Showing posts with label Al-Khidmah. Show all posts

11 November 2017

Khususi ( Bag. 2 )

www.kabarmadrasah.com
Kabarmadrasah.com - Dalam transkrip pengajian kali ini, Yai Rori RA mendefinisikan thariqah sebagai sebuah ‘perjalanan’ –atau yang dalam dunia sufi biasa dikenal dengan istilah suluk— yang hanya bisa dirasakan oleh para pelaku atau murid thariqah sejati. Yaitu mereka yang dalam menempuh perjalanan suluknya memang benar-benar menuju serta punya tujuan akhir hanya kepada (keridlaan) Allah SWT. Beliau RA juga menggaris bawahi (lagi) bahwa perjalanan (suluk) ini perlu dirasakan atau dipraktikkan secara langsung oleh para murid thariqah, dan tak hanya cukup diketahui teorinya saja (lihat lagi edisi sebelumnya tentang tasawuf ‘ilmi dan tasawuf ‘amali). Sebab, ilmu –atau lebih tepatnya teori-teori keilmuan dhahir– yang tak disertai dengan ketakwaan akan berpotensi mereduksi keyakinan seseorang. Inilah kurang lebih yang dimaksud dan disebut dalam sebuah riwayat –ada yang bilang ini termasuk hadits riwayat dari Ad Dailami dan Ibnu Hibban–: “Man izdaada ‘ilman walam yazdad hudan, lam yazdad illaa bu’dan” (Barangsiapa yang bertambah ilmunya namun tak bertambah ketakwaannya, maka (hakikatnya) ia tak bertambah apapun selain bertambah jauh (dari Allah SWT).
                Perjalanan atau suluk thariqah yang disebutkan di atas adalah dengan cara menempuh atau menaklukkan ‘medan-medan’ spiritual tertentu. Dalam kitab Siraajut Thaalibiin, Syaikh Ihsan Jampes RA menyebut ‘medan’ yang harus ditempuh oleh para salik ini dengan istilah  ‘aqabaat (jalanan berundak yang naik dan menanjak ke atas, seperti halnya anak tangga). Tanjakan-tanjakan tersebut adalah berupa maqamat-maqamat ataupun ahwal-ahwal yang harus ‘ditaklukkan’ dan ditempuh oleh para salik agar ia bisa sampai kepada (keridlaan) Allah SWT. Maqamat ataupun ahwal berisikan berbagai sifat/praktik mulia dan terpuji seperti taubat, ikhlas, dan lain sebagainya (lebih lengkap tentang macam-macam maqamat, bisa dilihat lagi di BAF mulai edisi 57). Perjalanan yang berundak ini sekaligus juga menunjukkan bahwa perjalanan thariqah bukanlah perjalanan yang mudah. Perlu determinasi tinggi dan keteguhan hati untuk menaklukkannya. Beberapa makam wali songo seperti Sunan Muria, Sunan Giri, dan Sunan Gresik yang untuk bisa sampai kesana harus melalui jalanan yang berundak dan menanjak, mungkin, sekali lagi mungkin, juga memiliki filosofi maqamat yang senantiasa harus ditingkatkan dengan terus mendakinya, tidak berhenti di tengah jalan apalagi turun sebelum sampai di ‘puncak’.
                Nah, perjalanan sulit dengan ‘medan berat’ yang harus ditkalukkan tersebut sekali lagi memiliki target atau goal yang mulia, yaitu agar sampai pada keridlaan Allah SWT, dan bukan hanya agar sampai di surga ataupun tak mampir ke neraka. Caranya adalah dengan memerangi hawa nafsu (mujahadatun nafsi).
                Apa yang terdetik dalam hati –dimana hati merupakan motor atau penggerak awal dari semua amal manusia– tidak/sulit untuk dipastikan: apakah ia bersumber dari Tuhan, setan, ataupun yang lainnya?. Maka, di sinilah urgensi dan peran seorang Guru thariqah yang akan membimbing perjalanan seorang murid. Ini ditambah lagi dengan fakta bahwa perjalanan masing-masing murid memang berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Karena berbeda, ‘treatment’ atau penanganan yang diberikan pun juga pasti berbeda, disesuaikan dengan kondisi (spiritual) dari masing-masing murid. Makanya dalam berbagai hadits, jawaban Rasulullah ketika ditanya oleh beberapa Sahabat tentang amal apa yang paling bagus bagi mereka pun juga berbeda-beda. Sebab jawaban tersebut akan Beliau sesuaikan dengan kondisi (dan kecenderungan/bakat) spiritual dari si penanya.
                Lebih lanjut lagi, Yai Rori RA juga menjelaskan tentang “al kalimuth thayyib” dan “al ‘amalush shalih”. Sebab, dalam mengarungi dan menempuh perjalanan thariqah, seorang salik pasti akan menggunakan kedua ‘media’ tersebut. Dalam Al Qur’an surat Fathir ayat 10 disebutkan bahwa keduanya bisa ‘naik’ dan sampai (diterima) di sisi Allah SWT. Kunci agar amalan-amalan (ibadah badaniah) dan ucapan-ucapan (dzikir) tersebut bisa ‘sampai’ dan diterima oleh Allah SWT, menurut Beliau RA adalah jika pengerjaannya tak didorong oleh faktor-faktor atau motif-motif duniawi maupun ukhrawi. Motif duniawi seperti beribadah karena riya’ atau sum’ah dan yang semisalnya. Sedangkan motif ukhrawi seperti ketika ibadah seseorang didorong karena faktor menginginkan surga atau fadlilah-fadlilah tertentu dan agar terhindar dari (siksa) api neraka.
                Sedangkan macam atau varian dari amal shalih sebagai ‘media’ dalam menempuh perjalanan thariqah tersebut jumlahnya sangat banyak sekali. “Ath thara-iq ‘alaa ‘adadi anfaasil khalaa-iq.” Jumlahnya sebanyak bilangan nafas seluruh makhluk. Statetement ini, selain mengindikasikan berjumlah banyak juga mengindikasikan selamanya, seumur hidup (long life journey). Sebab, kelak yang akan ditanyakan (dihisab) saat kiamat adalah dua hal: ketika sedang menarik atau menghirup nafas sedang melakukan apa?, dan ketika mengeluarkan nafas sedang mengerjakan apa?. Karenanya orang thariqah sangat (dianjurkan untuk) menjaga keluar masuknya nafas mereka. Karenanya pula, terkait dengan menjaga keluar masuknya nafas ini, Beliau RA mengajarkan sebuah bimbingan yang ‘strategis’ sekaligus ‘cerdas’. Kita dibimbing oleh Beliau RA agar setiap kali menghirup nafas, saat itu pula hati kita mengucap (penggalan kata) ”ALL”, dan di saat membuang nafas, kita mengucap lanjutannya (yaitu penggalan kata) “LAH” dalam benak kita sambil menekuk lidah ke atas seperti halnya saat sedang melakukan dzikir sirri.  ”ALL” “LAH”.. ”ALL” “LAH”.. ”ALL” “LAH”.. begitu seterusnya, sampai kita terbiasa.
                Kenapa bimbingan ini ini kami sebut cerdas?. Karena ketika yaumul hisab dan kita ditanya: saat menghirup dan membuang nafas sedang melakukan apa?. Kita bisa menjawab: “Mengingat Allah.”
                Kenapa bimbingan ini kami sebut strategis?. Karena dzikir model ini bisa kita lakukan sambil multy tasking. Artinya, kita bisa tetap melakukannya meskipun sambil mengerjakan aktivitas sehari-hari secara normal. Sambil ngantor, sambil mendengarkan keterangan dosen saat kuliah, sambil menunggu pembeli datang membeli dagangan kita, atau yang lain, dalam hati, kita tetap bisa melakukan dzikir menjaga keluar masuknya nafas tersebut. Yang kami ingat lagi dari dawuh Beliau RA, untuk mempermudah melakukan hal tersebut, yang dilakukan pertama kali adalah menekuk lidah ke atas. Karena itu ibarat pintu masuk ataupun saklarnya.

sumber :buletinalfithroh.com

Untuk melihat lebih jauh tentang semua postingan blog kabarmadrasah ini,, silakan kunjungi Daftar Isi ] 

Semoga bermanfaat dan jangan lupa  tombol like , Terima Kasih
Baca selengkapnya ...

02 November 2017

Manaqib Al-Khidmah Undaan Kudus

Kabarmadrasah.com - Sebagai dokumentasi kegiatan Al-Khidmah Undaan Kudus yang pernah dilaksanakan di kediaman Bapak Moh. Thohir Undaan Kudus pada Tahun 2004
1. Video Mauidhoh KH. Munir Abdullah

2. Haul sesepuh Undaan 2017

Demikian semoga memori kegiatan ini menggugah semangat bagi ikhwan -akhwat untuk senantiasa mengikutui dawuh-dawuh dan tuntunan dalam jamaah Al-Khidmah, Amiin

Untuk melihat lebih jauh tentang semua postingan blog kabarmadrasah ini,, silakan kunjungi Daftar Isi ] 

Semoga bermanfaat dan jangan lupa  tombol like , Terima Kasih
Baca selengkapnya ...

Khususi ( Bagian 1 )

Level seorang muslim dalam beribadah atau dalam menempuh ‘perjalanan’ spiritualnya terbagi menjadi tiga. Pertama, level syariah atau Islam. Yaitu ketika ibadah seseorang masih sebatas pada urusan sah atau tidak sah. Standar yang ditetapkan oleh orang yang berada di level ini simpel saja: yang penting syarat serta rukun dari ibadahnya terpenuhi dan tercukupi dari sudut pandang ilmu syariah atau Fiqh. Masalah lain di luar itu seperti khusyu’ atau tidak, tak terlalu diambil pusing oleh orang-orang yang berada di level ini.
                Yang kedua adalah level thariqah atau Iman. Yaitu ketika dalam ibadahnya, seseorang sudah bisa memurnikan niat dan tujuan, semata-mata hanya karena Allah SWT. Dalam beribadah, ia tak lagi bertendensi pada hal-hal yang mungkin masih menjadi tujuan dari orang-orang yang berada pada level syariah seperti mengharapkan surga atau takut neraka. Orang yang berada pada level thariqah mempunyai tujuan yang lebih bernilai dari sekedar keinginan yang bersifat ‘matre relijius’ seperti itu. Tujuan dari ibadahnya semata-mata hanya karena mengharap ridla Allah SWT.
                Yang ketiga adalah level haqiqah atau Ihsan. Pada level ini, seseorang sudah bisa bermusyahadah. Artinya, dalam setiap ibadahnya, ia bisa dan mampu menyaksikan (kebesaran dan keagungan) Allah SWT. Kalaupun tak bisa seperti itu, dalam setiap ibadahnya, bahkan dalam setiap gerak-geriknya, ia selalu merasa disaksikan oleh Allah SWT. Karena senantiasa merasa disaksikan secara langsung oleh Allah SWT inilah, iapun juga selalu berusaha untuk total dan maksimal dalam beribadah, baik dari segi batiniah apalagi dari segi lahiriah.
                Terkait dengan tiga level tersebut, Beliau RA memberikan suatu gambaran atau perumpamaan. Agama (Islam) diumpamakan seperti sebuah kebun. Sedangkan syariat adalah dinding atau pagarnya. Thariqah adalah rindangnya pepohonan di dalam kebun tersebut. Yang terakhir, haqiqah adalah buah yang dihasilkan oleh pepohonan yang rindang tadi.
                Apalah artinya seseorang yang punya kebun tapi tak ada pagarnya?. Tentu perkebunan tersebut menjadi berisiko, terutama oleh gangguan-gangguan bersifat eksternal seperti penjarahan oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab atau minimal oleh binatang ternak milik tetangga yang sedang kelaparan. Pada akhirnya, pertumbuhan pepohonan yang ada di kebun tersebut menjadi terhambat bahkan tidak menutup kemungkinan akan menjadi mati. Orang yang beragama Islam namun tak menjalankan syariat pun juga seperti itu. Hati dan jiwa spiritualnya akan gersang bahkan mati karena tak pernah ‘disirami’ oleh ibadah.
                Apalah artinya sebuah kebun, kalau pepohonan yang tumbuh di sana tidak rindang dan tidak subur?. Tentu ia menjadi kurang begitu berarti sebagaimana seorang yang rajin shalat, namun ia tidak atau belum bisa merasakan kenyamanan dari shalatnya tersebut.
                Apalah artinya pula kebun tersebut rindang namun di sisi lain ia tak bisa berbuah?. Tentu akan banyak yang menyayangkannya. Sebagaimana sangat disayangkannya seorang yang sudah bisa merasakan lezatnya ibadah, tapi tidak ada progress atau peningkatan dari ibadahnya tersebut, atau kalaupun tak begitu, ibadahnya tak bisa memberikan pengaruh positif dalam perilakunya sehari-hari.
                Yang terakhir, apalah artinya kebun yang rindang dan telah berbuah, namun tak ada pagarnya?. Tentu ini sama berisikonya seperti yang awal tadi. Seseorang yang sudah berada di level thariqah atau haqiqah namun tak mau menjalankan syariah pun juga berisiko. Minimal ia akan disalah pahami oleh orang-orang di sekitarnya sebagai orang yang tak taat terhadap aturan agamanya. Ketiga level tersebut idealnya selalu dikombinasikan dan tak hanya dipilih salah satunya saja. Sebab ketiganya memang saling terkait dan saling melengkapi satu sama lain.
                Nah, thariqah itu adalah ilmu yang berhubungan dengan rasa di dalam hati para pelakunya. Rasa yang dimaksud di sini adalah perasaan nyaman dan tenang ketika melakukan ibadah atau ritual tertentu. Perasaan semacam ini tentu tak bisa diperoleh dari seminar-seminar tasawuf dan lainnya yang bersifat formal atau ilmiah. Ia bisa diperoleh dengan beramal atau melakukan ibadah tertentu secara kontinyu [baca: mujahadah]. Artinya, langsung dipraktikkan dan tak hanya diteoritisasikan dalam majlis-majlis ilmiah saja.
                Tujuan hidup –menurut Beliau RA— ada dua; untuk beribadah kepada Allah SWT dan untuk memenuhi kebutuhan hidup sebagai penunjang agar bisa tenang dan lancar dalam beribadah. Tujuan hidup yang pertama [baca: beribadah] dikatakan ideal atau sesuai standar kalau dalam beribadah, seseorang sudah bisa merasakan kenyamanan atau sudah bisa merasakan lezat-manisnya ibadah. Caranya adalah dengan ‘pintar’ istiqamah dalam beribadah dan tidak hanya pintar secara ilmiah.  Selain itu, orang yang ingin mempertajam perasaannya juga harus mau berkumpul dengan orang-orang shalih dan kemudian mencari guru pembimbing atau mursyid. Sebab kalau tak ada Guru yang membimbing, dikhawatirkan gurunya adalah setan. Orang-orang yang bisa seperti itu –mau ngumpul bersama orang-orang shalih dan punya guru mursyid–, mungkin dari segi teori ilmiah mereka tak bisa disebut pandai/pintar. Tapi dari segi amaliah, level mereka jauh di atas para akademisi yang hanya membicarakan tasawuf secara ilmiah saja, tapi tidak atau belum mempraktikkannya. Sebab yang dinilai oleh Allah SWT memang amal seseorang, bukan ilmunya!. Allah SWT berfirman dalam surat Al Mulk ayat 2 yang artinya: “Dialah Tuhan yang menciptakan hidup dan mati untuk menguji kalian semua: siapa di atntara kalian yang paling bagus amalnya?.” Dari sini bisa disimpulkan bahwa tasawuf ‘amali lebih baik daripada tasawuf ‘ilmi. Tentu kondisi yang paling ideal adalah beramal sekaligus berilmu. Artinya, apa yang telah diamalkan dalam thariqah, kemudian juga diusahakan untuk bisa diketahui teori ilmiahnya. Tapi kalau harus memilih salah satunya saja karena situasi dan kondisi memang tak memungkinkan untuk itu –misalnya karena sudah udzur seperti kebanyakan jamaah kita yang sudah sepuh-sepuh–, tentu memilih tasawuf ‘amali adalah pilihan paling bijak.
                 Tujuan hidup yang kedua adalah memenuhi kebutuhan hidup. Tentu ini ada kaitannya dengan rizki. Kondisi ideal dari hal yang berhubungan dengan rizki ini adalah ketika seseorang sudah bisa menerima serta merasa cukup dengan rizki yang telah ia peroleh dari usahanya (‘izzul qana’ah). Sekaya apapun seseorang, tapi kalau dia belum bisa merasa cukup dengan kekayaannya, maka hatinyapun juga masih belum bisa merasakan ketenangan. Dalam hal ini, ia sebenarnya adalah orang yang miskin (hati). Sebaliknya, meskipun secara dhahir mungkin seseorang tidak bisa dibilang kaya –bahkan mungkin terlihat hidup serba kekurangan–, tapi kalau hatinya bisa merasakan cukup, maka dia sebenarnya adalah orang yang kaya (hati).

Sumber: Transkrip Pengajian Romo Yai Asrori RA: Apa Itu Khushushi? (Bagian I)

Baca selengkapnya ...

12 October 2017

Riwayat Pendidikan dan Aktivitas Sosial Keagamaan KH Asrori Al-Ishaqy

www.kabarmadrasah.com

www.kabarmadrasah.com - Yai Rori muda hanya mengenyam pendidikan formal sampai kelas tiga Sekolah Dasar. Selanjutnya, seperti umumnya putra kyai di daerah Jawa, Gus Rori menimba ilmu di pondok pesantren sebagai persiapan untuk melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan dari ayah Beliau. Sesuai dengan keinginan sang ayah, pada tahun 1966, pondok pesantren yang pertama kali menjadi tempat belajar Beliau adalah pondok pesantren Darul Ulum, Peterongan-Jombang yang di-asuh oleh KH. DR. Musta’in Romly[2], yang juga seorang mursyid tarekat Qadiriyyah wan Naqsyabandiyyah.
Setelah setahun[3] mondok di Peterongan, Gus Rori  melanjutkan studi ke pondok pesantren Alhidayah di desa Tretek-Pare-Kediri yang di-asuh oleh almarhum KH. Juwaini bin Nuh. Di pesantren ini, Gus Rori mengaji selama tiga tahun. Kitab-kitab yang didalami kebanyakan adalah kitab tasawuf dan hadits seperti kitab Ihya’ Ulumiddin karya al Ghazali dan Shahih Bukhari. Meski terhitung cukup singkat, namun banyak sekali kitab yang dikhatamkan oleh Gus Rori di pondok asuhan Kyai Juwaini ini.[4]
Selepas dari Kediri, Gus Rori melanjutkan belajar ke Pondok Pesantren al Munawwir, Krapyak-Jogjakarta di bawah asuhan KH. Ali Ma’shum. Di pesantren ini, durasi belajar Gus Rori hanya berkisar selama beberapa bulan saja. Selanjutnya, Beliau belajar di salah satu pesantren di desa Buntet-Cirebon yang di-asuh oleh KH. Abdullah Abbas. Di pesantren ini, Gus Rori hanya belajar selama setengah tahun.[5]
Aktivitas Sosial Kemasyarakatan dan Keagamaan
Jamaah pengikut dari Yai Rori RA secara garis besar terbagi menjadi dua. Yaitu mereka yang sudah mengikuti baiat (inisiasi) tarekat Qadiriyyah wan Naqsyabandiyyah al Utsmaniyyah atau disebut murid, dan jamaah yang baru sebatas tertarik dengan majlis-majlis dzikir yang diperuntukkan bagi siapapun yang mau mengikutinya. Kelompok kedua ini dinamakan jamaah atau muhibbin.
Di Pondok Pesantren As Salafi Al Fithrah yang berlokasi di Kelurahan Tanah Kali Kedinding Kecamatan Kenjeran yang Beliau dirikan dan asuh, tak kurang dari 2000 santri putra-putri yang mukim, dan 1200 santri yang mengaji pulang-pergi. Lembaga pendidikan formal di pondok ini bahkan telah tersedia lengkap mulai dari tingkat kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi. Sedangkan untuk pendidikan non formal yang dilaksanakan pada malam hari, ada TPQ dan madrasah diniyah.
Sejak Yai Rori RA membuka pengajian rutin bulanan di Pondok Pesantren As Salafi Al Fithrah ini, jamaah Beliau bertambah dengan pesat. Pengajian rutin bulanan dihadiri tak kurang oleh 20.000 jamaah yang datang dari berbagai kota di pulau Jawa. Sedangkan Haul Akbaryang rutin di-adakan setiap tahun di tempat yang sama, dihadiri tak kurang oleh 200.000 jamaah yang berdatangan dari dalam maupun luar negeri. Selain itu, ada majlis dzikir rutin mingguan dan majlis manaqiban bulanan yang dihadiri oleh lebih dari 10.000 ribu orang jamaah.
Momen-momen majlis mingguan, bulanan, dan tahunan yang dihadiri oleh banyak jamaah tersebut sekaligus juga membawa keberkahan tersendiri bagi masyarakat Kedinding dan sekitarnya. Sebab, dengan adanya majlis-majlis yang melibatkan banyak massa tersebut, sedikit-banyak roda perekonomian mereka juga ikut terdongkrak naik. Para pengusaha warung tegal (warteg), para pengusaha warung kopi/giras, para pengusaha kos-kosan/kontrakan, para abang tukang becak, para sopir angkot serta taksi, dan berbagai jenis usaha/profesi lainnya, tentu bisa merasakan perbedaan income atau penghasilan mereka: antara ketika sedang ada majlis di pondok dengan hari-hari biasa.

Dan dengan didasari atas kesadaran bahwa manusia tidak akan hidup di dunia selamanya, Yai Rori kemudian berfikir jauh ke depan demi keberlangsungan pembinaan jamaah yang jumlahnya telah mencapai ratusan ribu ini. Maka dibentuklah sebuah organisasi keagamaan yang bernama “Jamaah Al Khidmah”. Organisasi ini dideklarasikan secara resmi pada tanggal 25 Desember 2005 di Semarang Jawa Tengah. Kegiatan utamanya adalah menjadi semacam Event Organizer (EO) dalam menyelenggarakan Majlis Dzikir, Majlis Khatmil Qur’an, Maulid, dan Manaqib serta kirim doa kepada orang tua, para leluhur, dan para guru. Majlis lain yang menjadi bidang garapan dari jamaah Al Khidmah adalah majlis sholat malam, majlis taklim, majlis lamaran, majlis akad nikah, majlis tingkepan, majlis memberi nama anak, dan lain- lain.
Ketua Umum Jamaah Al Khidmah periode I dan II (2005-2014) H. Hasanuddin, SH. menjelaskan bahwa organisasi ini dibentuk semata-mata agar pembinaan jamaah bisa lebih terarah serta teratur dan siapapun bisa menjadi anggotanya tanpa harus memenuhi syarat-syarat tertentu.
Sampai saat ini, sepeninggal Yai Rori, jamaah Al Khidmah tetap eksis dalam menyelenggarakan majlis-majlis dzikir tidak beda dengan seperti ketika Beliau masih hidup. Bahkan, sepeninggal Beliau, jamaah Al Khidmah ini secara kuantitas justru mengalami perkembangan yang sangat signifikan, baik di dalam maupun di luar negeri. Banyak kabupaten/kota maupun provinsi yang pada saat Yai Rori masih sugeng belum ada jamaah Al Khidmahnya, namun sepeninggal Beliau, jamaah Al Khidmah bisa muncul dan berkembang pesat di daerah tersebut. Begitu pula dengan perkembangan di luar negeri. Misalnya saja, sepeninggal Yai Rori, jamaah Al Khidmah bisa masuk bahkan berdiri sebagai organisasi resmi dengan amaliah rutin di Thailand bagian selatan dan di Belgia.
Menurut Bung Has, sampai saat ini kepengurusan jamaah Al Khidmah sudah berdiri di 77 kabupaten/kota dan sembilan provinsi di Indonesia. Sedangkan kepengurusan di luar negeri sudah terbentuk di Malaysia, Singapura, Thailand, Belgia, dan Saudi Arabia.

Sumber: http://buletinalfithrah.com

www.kabarmadrasah.com

Terima kasih telah membaca artikel ini, Semoga bermanfaat.
jangan lupa baca artikel :Riwayat Hidup KH.Ahmad Asrori A-lIshaqy

Untuk melihat lebih jauh tentang semua postingan blog kabarmadrasah ini,, silakan kunjungi Daftar Isi ] 
Semoga bermanfaat dan jangan lupa  tombol like , Terima Kasih
Baca selengkapnya ...

09 October 2017

Riwayat Hidup KH.Ahmad Asrorie Al-Ishaqy


www.kabarmadrasah.com
Kabarmadrasah.com -KH. Achmad Asrori Al Ishaqy RA dilahirkan di Surabaya pada tanggal 17 Agustus 1951.[1] Beliau adalah putra ke-empat dari sepuluh bersaudara. Ayahnya bernama KH. Muhammad Utsman Al Ishaqy dan ibunya bernama Nyai Hj. Siti Qomariyah binti KH. Munadi. Al Ishaqy adalah gelar yang dinisbatkan kepada Maulana Ishaq, ayah dari Sunan Giri. Sebab, KH. Utsman adalah keturunan ke-14 dari Sunan Giri. Dari jalur ibu, silsilah nasab KH. Asrori bersambung dengan Sunan Gunung Jati, Cirebon. Jika dirunut, nasab Yai Rori bersambung dengan Nabi Muhammad SAW pada urutan yang ke-38. Berikut silsilah nasab Beliau: Achmad Asrori al Ishaqy – Muhammad Utsman al Ishaqi – Nyai Surati – Kyai Abdullah – Mbah Dasha – Mbah Salbeng – Mbah Jarangan – Kyai Ageng Mas – Kyai Panembahan Bagus – Kyai Ageng Pangeran Sadang Rono – Panembahan Agung Sido Mergi – Pangeran Kawis Guwa – Syaikh Fadllullah (Sunan Prapen) – Syaikh Ali Sumadiro – Syaikh Muhammad ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri) – Syaikh Maulana Ishaq – Syaikh Ibrohim Akbar (Ibrohim Asmorokondi) – Syaikh Jamaluddin Akbar (Syaikh Jumadil Kubro) – Syaikh Ahmad Syah Jalal Amir – Syaikh Abdullah Khon – Syaikh Alwi – Syaikh Abdullah – Syaikh Ahmad Muhajir – Syaikh Isa ar Rumi – Syaikh Muhammad Naqib – Syaikh Ali al ‘Iridhi – Syaikh Ja’far Shodiq – Syaikh Muhammad al Baqir – Sayyid Ali Zainul ‘Abidin – Sayyid Imam al Husain – Sayyidah Fathimah az Zahro – Nabi Muhammad SAW.
Tanda-tanda Yai Rori akan menjadi seorang tokoh panutan sudah nampak sejak masa muda Beliau. Setelah menuntut ilmu di beberapa pondok pesantren di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat, Yai Rori muda berdakwah kepada anak-anak atau pemuda jalanan. Padahal, di ndalem ayah Beliau yang berlokasi di kelurahan Jatisrono, Kecamatan Semampir, ayah Beliau sendiri juga masih memerlukan tenaga Beliau untuk membantu mengajar di Pondok Pesantren Raudlatul Muta’allimin Darul ‘Ubuudiyyah  yang diasuh oleh sang ayah sendiri.
Dengan metode dakwahnya yang unik, yaitu dengan mengikuti hobi anak-anak jalanan seperti bermain musik, nongkrong, dan sebagainya, anak-anak muda tersebut sedikit demi sedikit bisa menerima ilmu yang diselipkan oleh Gus Rori –begitu Yai Rori muda akrab dipanggil– melalui obrolan ringan ketika mereka semua sedang berkumpul.
Meskipun dalam skala yang lebih kecil, metode dakwah semacam ini mirip-mirip dengan apa yang dulu pernah dilakukan oleh para pendakwah Islam generasi awal di Indonesia, khususnya di tanah Jawa yang lebih dikenal dengan sebutan Wali Songo. Dimana, cara Wali Songo berdakwah pada waktu itu adalah melalui proses akulturasi budaya Islam dan budaya lokal yang telah mengakar kuat di masyarakat. Mereka tak lantas langsung ‘membabat habis’ budaya-budaya lokal yang pada waktu itu bisa dibilang ‘kurang Islami’ seperti wayangan, gendingan, gendorenan, dan lain sebagainya. Namun, budaya-budaya lokal tersebut justru digunakan sebagai sarana pendekatan ataupun sarana untuk menarik minat penduduk pribumi terhadap Islam. Sehingga, setelah timbul ketertarikan dalam diri pemduduk pribumi, pada tahap selanjutnya, secara psiklogis mereka tentu juga akan lebih siap untuk menerima dakwah Islam.
Apa yang dilakukan oleh Yai Rori muda pun kurang lebih juga seperti itu. Beliau tak langsung melarang aktivitas-aktivitas kurang produktif –untuk tak menyebutnya: kurang bermanfaat, seperti nyangkrukan dan lainnya-– yang telah menjadi kebiasaan para pemuda jalanan yang menjadi obyek dakwah Beliau pada waktu itu. Namun, aktivitas-aktivitas tersebut justru dijadikan oleh Yai Rori muda menjadi semacam ‘pintu masuk’ untuk mulai mendakwahi dan membimbing mereka. Secara spesifik lagi,  meskipun pelan namun pasti, dalam hal ini mereka dibimbing agar tak hanya mau ngumpul-ngumpul dengan sesama komunitasnya sendiri saja. Namun mereka juga dibimbing agar mau ngumpul-ngumpul bersama dengan orang-orang shalih melalui majlis dzikir.
Seiring dengan terus berjalannya waktu, semakin lama semakin banyak pula pemuda yang tertarik dengan metode ataupun konsep dakwah yang diterapkan oleh Gus Rori. Hingga pada akhirnya, Gus Rori mengajak mereka untuk mengadakan majlis manaqiban dan pengajian di Gresik. Majlis yang pertama kali ini dilaksanakan di kampung Bedilan yang di kemudian hari di-adakan secara rutin pada tiap bulannya di tempat tersebut. Majlis ini di-isi dengan pembacaan Manaqib Syaikh Abdul Qodir al Jilany, pembacaan Maulid, dan tanya jawab keagamaan. Majlis ini awalnya diberi nama jamaah KACA yang merupakan akronim dari Karunia Cahaya Agung. Namun agar lebih familiar, Gus Rori menyebut anggota jamaah KACA dengan sebutan Orong-Orong. Secara harfiah, Orong-Orong adalah binatang melata yang biasa keluar pada malam hari. Secara filosofis, pemberian nama semacam ini disesuaikan dengan perilaku anak-anak muda pengikut Gus Rori yang rata-rata memang mempunyai kebiasaan keluar pada waktu malam hari. Dalam perkembangannya, nama Orong-Orong ini kemudian menjadi lebih terkenal dibandingkan dengan nama KACA. Dan jamaah Orong-Orong inilah yang kelak, di kemudian hari ‘bermetamorfosis’ serta menjadi embrio dari lahirnya jamaah Al Khidmah.
Meski masih muda, ketokohan Gus Rori yang kharismatik dan netral serta sikap Beliau yang non partisan terhadap kelompok Islam tertentu ataupun terhadap partai politik tertentu, pada akhirnya membuat Beliau sangat disegani oleh berbagai kalangan masyarakat dari strata sosial serta kelompok yang berbeda-beda. Majlis-majlis Beliau bersifat inklusif serta terbuka bagi siapapun dan dari kelompok manapun. Sehingga, karena tidak adanya kesan eksklusivisme ini, tak mengherankan jika dalam majlis-majlis yang Beliau pimpin, para pejabat sipil maupun pemerintahan yang notabenenya mempunyai pandangan keagamaan atau politik yang berbeda-beda, sering kali bisa terlihat rukun serta mau untuk duduk bersama-sama dalam sebuah majlis.
Pada tahun 1983, Gus Rori mendirikan mushola di Kelurahan Tanah Kali Kedinding. Dalam perkembangannya, ternyata banyak masyarakat sekitar yang antusias serta tertarik untuk memondokkan anak-anak mereka di kediaman baru Gus Rori tersebut. Akhirnya, Gus Rori mendirikan masjid dan pondok pesantren yang kemudian diberi nama Pondok Pesantren As Salafi Al Fithrah.

www.kabarmadrasah.com

Terima kasih telah membaca artikel ini, Semoga bermanfaat.
jangan lupa baca artikel :Al-Khidmah Kudus

Untuk melihat lebih jauh tentang semua postingan blog kabarmadrasah ini,, silakan kunjungi Daftar Isi ] 
Semoga bermanfaat dan jangan lupa  tombol like , Terima Kasih
Baca selengkapnya ...

09 September 2017

Khaul Al Khidmah Kudus 2017

www.kabarmadrasah.com

Kabarmadrasah.com - Jamaah Al-Khidmah Kudus bersama jam’iyyah Nahdlatul Ulama Kabupaten Kudus pada hari Jum’at malam, 8 September 2017 bertempat di Alun-Alun Simpang Tujuh Kudus menyelenggarakan Khaul Akbar 2017. Acara dimulai pukul 19.00 WIB s/d Selesai dengan urutan acara dimulai dengan Pembacaan Hadoroh kepada Para nabi, wali-wali, guru-guru dan seterusnya, dilanjutkan  pembacaan Istighosah- Yasin- Manaqib Syekh Abdul Qodir Al-Jilani RA – maulidur Rasul SAW sesuai urutan yang telah diatur dan menjadi “wadhifah” yang telah dibimbing dan diajarkan oleh beliau hadratussyekh Romo KH. Ahmad Asrorie Al Ishaqie, RA

Dengan suara khas Al-Khidmah yang merdu , setiap bacaan dilantunkan oleh petugas / santri mampu membawa suasana hati yang mendengar ke dalam “ rasa hati “ yang berbeda bila mampu mengikuti dengan khidmat. Itulah yang menjadi ciri dari majlis Al-Khidmah.

Haul Akbar  merupakan majlis rutin setiap tahunnya yang bertujuan untuk mendoakan para sesepuh, para leluhur, para pejabat negara dan terlebih lebih para kedua orang tua. Dalam sambutan. Ketua Umum AL Khidmah Pusat Bapak  M. Emil Sanif Tarigan menyampaikan bahwa majlis ini merupakan wahana shilaturruhiyyah , mengaitakan dengan ruhaniyyah para guru yang mulia, para orang tua dan ibadillahis Sholihin. Demikian juga acara ini dimaksudkan sebagai majlis untuk mengirim do’a kepada orang-orang tua, menyenangkan hati mereka dan semoga kita kelak dikumpulkan bersama para guru dan ibadillahis Sholihin
www.kabarmadrasah.com
Khaul Akbar Al-Khidmah Kudus 2017

Beliau ( Bapak Emil ) juga menuturkan, Jama’ah Al Khidmah ini sudah dirintis dan eksis  sejak tahun 1987. Saat itu jumlah anggota baru belasan orang dan daerah cakupan masih berada di sekitar . Tetapi kini, saking banyaknya, jumlah Jama’ah Al Khidmah telah mencapai ribuan bahkan jutaan orang dan tersebar tak hanya di Indonesia meliputi Pulau Jawa, Medan, Kalimantan dll  tetapi juga di Singapura, Malaysia, Thailand, Yaman, Makkah, Madinah, Australia, dan Brunei Darussalam. Tak hanya diselenggarakan oleh masyarakat umum dan pondok pesantren, tetapi juga digelar oleh instansi pemerintah, rumah sakit, lembaga ilmiah seperti LIPI, sekolah menengah dan universitas.

Jama’ah Al Khidmah merupakan manifestasi dari rasa” welas asih” dari  Hadratussyaikh Romo KH. Achmad Asrori Al-Ishaqy RA kepada kita semua. Beliau adalah tokoh kunci dan pendiri Jama’ah Al Khidmah, yang dalam satu kesempatan pernah menuturkan satu harapan dan doa agar Jama’ah Al Khidmah ke depan dapat menjadi “oase dunia”.

Beliau  ( Bapak Emil ) juga mengapreasi sambutan Bupati Kudus, H. Musthofa,SE.MM yang menyampaikan sambutan sebelumnya , bahwa beliau Bapak Bupati mengapreasi kegiatan ini sebagai rasa syukur HUT kota Kudus ke-468  dan berharap setiap tahun bisa diselenggarakan menjelang peringatan HUT kabupaten Kudus .

Setelah beberapa sambutan disampaikan, Acara dilanjut mauidhoh hasanah yang disampaikan pertama oleh Habib Haidar Al- Idrus dari Surabaya yang menekankan untuk bersyukur atas segala ni’mat Allah baik yang langsung kita rasakan berupa ni’mat rizqi dhohir ( harta, anak, jodoh dll ) dan bahkan sangat dianjurkan untuk bersyukur atas ni’mat digerakkan hati kita untuk hadir dalam majlis, ikut dzikir kepada Allah dan membaca sholawat atas rasululloh SAW.
www.kabarmadrasah.com
Habib Thohir Al-Kaaf dari Tegal
Dalam mauidhoh kedua, dihaturkan beliau Habib Thohir Al-Kaaf dari Tegal  yang mengingatkan tentang perbekalan menuju perjalanan Akhirat ( kematian ) serta do’a solidaritas terhadap saudara muslim Rohingnya (Myanmar) dengan do’a-do’a beliau yang khas
Demikian postingan ini, semoga bermanfaat bagi kita Amiin


www.kabarmadrasah.com

Terima kasih telah membaca artikel ini, Semoga bermanfaat.
Jangan lupa baca artikel : Urgensitas Rapat Bulanan madrasah

Untuk melihat lebih jauh tentang semua postingan blog kabarmadrasah ini,, silakan kunjungi Daftar Isi ] 
Semoga bermanfaat dan jangan lupa  tombol like , Terima Kasih
Baca selengkapnya ...
Designed Template By Blogger Templates - Powered by Kabarmadrasah.com