Madrasah hebat bermartabat- Lebih baik madrasah - Madrasah lebih baik

Breaking News

11 November 2017

Khususi ( Bag. 2 )

www.kabarmadrasah.com
Kabarmadrasah.com - Dalam transkrip pengajian kali ini, Yai Rori RA mendefinisikan thariqah sebagai sebuah ‘perjalanan’ –atau yang dalam dunia sufi biasa dikenal dengan istilah suluk— yang hanya bisa dirasakan oleh para pelaku atau murid thariqah sejati. Yaitu mereka yang dalam menempuh perjalanan suluknya memang benar-benar menuju serta punya tujuan akhir hanya kepada (keridlaan) Allah SWT. Beliau RA juga menggaris bawahi (lagi) bahwa perjalanan (suluk) ini perlu dirasakan atau dipraktikkan secara langsung oleh para murid thariqah, dan tak hanya cukup diketahui teorinya saja (lihat lagi edisi sebelumnya tentang tasawuf ‘ilmi dan tasawuf ‘amali). Sebab, ilmu –atau lebih tepatnya teori-teori keilmuan dhahir– yang tak disertai dengan ketakwaan akan berpotensi mereduksi keyakinan seseorang. Inilah kurang lebih yang dimaksud dan disebut dalam sebuah riwayat –ada yang bilang ini termasuk hadits riwayat dari Ad Dailami dan Ibnu Hibban–: “Man izdaada ‘ilman walam yazdad hudan, lam yazdad illaa bu’dan” (Barangsiapa yang bertambah ilmunya namun tak bertambah ketakwaannya, maka (hakikatnya) ia tak bertambah apapun selain bertambah jauh (dari Allah SWT).
                Perjalanan atau suluk thariqah yang disebutkan di atas adalah dengan cara menempuh atau menaklukkan ‘medan-medan’ spiritual tertentu. Dalam kitab Siraajut Thaalibiin, Syaikh Ihsan Jampes RA menyebut ‘medan’ yang harus ditempuh oleh para salik ini dengan istilah  ‘aqabaat (jalanan berundak yang naik dan menanjak ke atas, seperti halnya anak tangga). Tanjakan-tanjakan tersebut adalah berupa maqamat-maqamat ataupun ahwal-ahwal yang harus ‘ditaklukkan’ dan ditempuh oleh para salik agar ia bisa sampai kepada (keridlaan) Allah SWT. Maqamat ataupun ahwal berisikan berbagai sifat/praktik mulia dan terpuji seperti taubat, ikhlas, dan lain sebagainya (lebih lengkap tentang macam-macam maqamat, bisa dilihat lagi di BAF mulai edisi 57). Perjalanan yang berundak ini sekaligus juga menunjukkan bahwa perjalanan thariqah bukanlah perjalanan yang mudah. Perlu determinasi tinggi dan keteguhan hati untuk menaklukkannya. Beberapa makam wali songo seperti Sunan Muria, Sunan Giri, dan Sunan Gresik yang untuk bisa sampai kesana harus melalui jalanan yang berundak dan menanjak, mungkin, sekali lagi mungkin, juga memiliki filosofi maqamat yang senantiasa harus ditingkatkan dengan terus mendakinya, tidak berhenti di tengah jalan apalagi turun sebelum sampai di ‘puncak’.
                Nah, perjalanan sulit dengan ‘medan berat’ yang harus ditkalukkan tersebut sekali lagi memiliki target atau goal yang mulia, yaitu agar sampai pada keridlaan Allah SWT, dan bukan hanya agar sampai di surga ataupun tak mampir ke neraka. Caranya adalah dengan memerangi hawa nafsu (mujahadatun nafsi).
                Apa yang terdetik dalam hati –dimana hati merupakan motor atau penggerak awal dari semua amal manusia– tidak/sulit untuk dipastikan: apakah ia bersumber dari Tuhan, setan, ataupun yang lainnya?. Maka, di sinilah urgensi dan peran seorang Guru thariqah yang akan membimbing perjalanan seorang murid. Ini ditambah lagi dengan fakta bahwa perjalanan masing-masing murid memang berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Karena berbeda, ‘treatment’ atau penanganan yang diberikan pun juga pasti berbeda, disesuaikan dengan kondisi (spiritual) dari masing-masing murid. Makanya dalam berbagai hadits, jawaban Rasulullah ketika ditanya oleh beberapa Sahabat tentang amal apa yang paling bagus bagi mereka pun juga berbeda-beda. Sebab jawaban tersebut akan Beliau sesuaikan dengan kondisi (dan kecenderungan/bakat) spiritual dari si penanya.
                Lebih lanjut lagi, Yai Rori RA juga menjelaskan tentang “al kalimuth thayyib” dan “al ‘amalush shalih”. Sebab, dalam mengarungi dan menempuh perjalanan thariqah, seorang salik pasti akan menggunakan kedua ‘media’ tersebut. Dalam Al Qur’an surat Fathir ayat 10 disebutkan bahwa keduanya bisa ‘naik’ dan sampai (diterima) di sisi Allah SWT. Kunci agar amalan-amalan (ibadah badaniah) dan ucapan-ucapan (dzikir) tersebut bisa ‘sampai’ dan diterima oleh Allah SWT, menurut Beliau RA adalah jika pengerjaannya tak didorong oleh faktor-faktor atau motif-motif duniawi maupun ukhrawi. Motif duniawi seperti beribadah karena riya’ atau sum’ah dan yang semisalnya. Sedangkan motif ukhrawi seperti ketika ibadah seseorang didorong karena faktor menginginkan surga atau fadlilah-fadlilah tertentu dan agar terhindar dari (siksa) api neraka.
                Sedangkan macam atau varian dari amal shalih sebagai ‘media’ dalam menempuh perjalanan thariqah tersebut jumlahnya sangat banyak sekali. “Ath thara-iq ‘alaa ‘adadi anfaasil khalaa-iq.” Jumlahnya sebanyak bilangan nafas seluruh makhluk. Statetement ini, selain mengindikasikan berjumlah banyak juga mengindikasikan selamanya, seumur hidup (long life journey). Sebab, kelak yang akan ditanyakan (dihisab) saat kiamat adalah dua hal: ketika sedang menarik atau menghirup nafas sedang melakukan apa?, dan ketika mengeluarkan nafas sedang mengerjakan apa?. Karenanya orang thariqah sangat (dianjurkan untuk) menjaga keluar masuknya nafas mereka. Karenanya pula, terkait dengan menjaga keluar masuknya nafas ini, Beliau RA mengajarkan sebuah bimbingan yang ‘strategis’ sekaligus ‘cerdas’. Kita dibimbing oleh Beliau RA agar setiap kali menghirup nafas, saat itu pula hati kita mengucap (penggalan kata) ”ALL”, dan di saat membuang nafas, kita mengucap lanjutannya (yaitu penggalan kata) “LAH” dalam benak kita sambil menekuk lidah ke atas seperti halnya saat sedang melakukan dzikir sirri.  ”ALL” “LAH”.. ”ALL” “LAH”.. ”ALL” “LAH”.. begitu seterusnya, sampai kita terbiasa.
                Kenapa bimbingan ini ini kami sebut cerdas?. Karena ketika yaumul hisab dan kita ditanya: saat menghirup dan membuang nafas sedang melakukan apa?. Kita bisa menjawab: “Mengingat Allah.”
                Kenapa bimbingan ini kami sebut strategis?. Karena dzikir model ini bisa kita lakukan sambil multy tasking. Artinya, kita bisa tetap melakukannya meskipun sambil mengerjakan aktivitas sehari-hari secara normal. Sambil ngantor, sambil mendengarkan keterangan dosen saat kuliah, sambil menunggu pembeli datang membeli dagangan kita, atau yang lain, dalam hati, kita tetap bisa melakukan dzikir menjaga keluar masuknya nafas tersebut. Yang kami ingat lagi dari dawuh Beliau RA, untuk mempermudah melakukan hal tersebut, yang dilakukan pertama kali adalah menekuk lidah ke atas. Karena itu ibarat pintu masuk ataupun saklarnya.

sumber :buletinalfithroh.com

Untuk melihat lebih jauh tentang semua postingan blog kabarmadrasah ini,, silakan kunjungi Daftar Isi ] 

Semoga bermanfaat dan jangan lupa  tombol like , Terima Kasih
Comments
0 Comments

No comments:

Designed Template By Blogger Templates - Powered by Kabarmadrasah.com