Madrasah hebat bermartabat- Lebih baik madrasah - Madrasah lebih baik

Breaking News

09 October 2017

Riwayat Hidup KH.Ahmad Asrorie Al-Ishaqy


www.kabarmadrasah.com
Kabarmadrasah.com -KH. Achmad Asrori Al Ishaqy RA dilahirkan di Surabaya pada tanggal 17 Agustus 1951.[1] Beliau adalah putra ke-empat dari sepuluh bersaudara. Ayahnya bernama KH. Muhammad Utsman Al Ishaqy dan ibunya bernama Nyai Hj. Siti Qomariyah binti KH. Munadi. Al Ishaqy adalah gelar yang dinisbatkan kepada Maulana Ishaq, ayah dari Sunan Giri. Sebab, KH. Utsman adalah keturunan ke-14 dari Sunan Giri. Dari jalur ibu, silsilah nasab KH. Asrori bersambung dengan Sunan Gunung Jati, Cirebon. Jika dirunut, nasab Yai Rori bersambung dengan Nabi Muhammad SAW pada urutan yang ke-38. Berikut silsilah nasab Beliau: Achmad Asrori al Ishaqy – Muhammad Utsman al Ishaqi – Nyai Surati – Kyai Abdullah – Mbah Dasha – Mbah Salbeng – Mbah Jarangan – Kyai Ageng Mas – Kyai Panembahan Bagus – Kyai Ageng Pangeran Sadang Rono – Panembahan Agung Sido Mergi – Pangeran Kawis Guwa – Syaikh Fadllullah (Sunan Prapen) – Syaikh Ali Sumadiro – Syaikh Muhammad ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri) – Syaikh Maulana Ishaq – Syaikh Ibrohim Akbar (Ibrohim Asmorokondi) – Syaikh Jamaluddin Akbar (Syaikh Jumadil Kubro) – Syaikh Ahmad Syah Jalal Amir – Syaikh Abdullah Khon – Syaikh Alwi – Syaikh Abdullah – Syaikh Ahmad Muhajir – Syaikh Isa ar Rumi – Syaikh Muhammad Naqib – Syaikh Ali al ‘Iridhi – Syaikh Ja’far Shodiq – Syaikh Muhammad al Baqir – Sayyid Ali Zainul ‘Abidin – Sayyid Imam al Husain – Sayyidah Fathimah az Zahro – Nabi Muhammad SAW.
Tanda-tanda Yai Rori akan menjadi seorang tokoh panutan sudah nampak sejak masa muda Beliau. Setelah menuntut ilmu di beberapa pondok pesantren di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat, Yai Rori muda berdakwah kepada anak-anak atau pemuda jalanan. Padahal, di ndalem ayah Beliau yang berlokasi di kelurahan Jatisrono, Kecamatan Semampir, ayah Beliau sendiri juga masih memerlukan tenaga Beliau untuk membantu mengajar di Pondok Pesantren Raudlatul Muta’allimin Darul ‘Ubuudiyyah  yang diasuh oleh sang ayah sendiri.
Dengan metode dakwahnya yang unik, yaitu dengan mengikuti hobi anak-anak jalanan seperti bermain musik, nongkrong, dan sebagainya, anak-anak muda tersebut sedikit demi sedikit bisa menerima ilmu yang diselipkan oleh Gus Rori –begitu Yai Rori muda akrab dipanggil– melalui obrolan ringan ketika mereka semua sedang berkumpul.
Meskipun dalam skala yang lebih kecil, metode dakwah semacam ini mirip-mirip dengan apa yang dulu pernah dilakukan oleh para pendakwah Islam generasi awal di Indonesia, khususnya di tanah Jawa yang lebih dikenal dengan sebutan Wali Songo. Dimana, cara Wali Songo berdakwah pada waktu itu adalah melalui proses akulturasi budaya Islam dan budaya lokal yang telah mengakar kuat di masyarakat. Mereka tak lantas langsung ‘membabat habis’ budaya-budaya lokal yang pada waktu itu bisa dibilang ‘kurang Islami’ seperti wayangan, gendingan, gendorenan, dan lain sebagainya. Namun, budaya-budaya lokal tersebut justru digunakan sebagai sarana pendekatan ataupun sarana untuk menarik minat penduduk pribumi terhadap Islam. Sehingga, setelah timbul ketertarikan dalam diri pemduduk pribumi, pada tahap selanjutnya, secara psiklogis mereka tentu juga akan lebih siap untuk menerima dakwah Islam.
Apa yang dilakukan oleh Yai Rori muda pun kurang lebih juga seperti itu. Beliau tak langsung melarang aktivitas-aktivitas kurang produktif –untuk tak menyebutnya: kurang bermanfaat, seperti nyangkrukan dan lainnya-– yang telah menjadi kebiasaan para pemuda jalanan yang menjadi obyek dakwah Beliau pada waktu itu. Namun, aktivitas-aktivitas tersebut justru dijadikan oleh Yai Rori muda menjadi semacam ‘pintu masuk’ untuk mulai mendakwahi dan membimbing mereka. Secara spesifik lagi,  meskipun pelan namun pasti, dalam hal ini mereka dibimbing agar tak hanya mau ngumpul-ngumpul dengan sesama komunitasnya sendiri saja. Namun mereka juga dibimbing agar mau ngumpul-ngumpul bersama dengan orang-orang shalih melalui majlis dzikir.
Seiring dengan terus berjalannya waktu, semakin lama semakin banyak pula pemuda yang tertarik dengan metode ataupun konsep dakwah yang diterapkan oleh Gus Rori. Hingga pada akhirnya, Gus Rori mengajak mereka untuk mengadakan majlis manaqiban dan pengajian di Gresik. Majlis yang pertama kali ini dilaksanakan di kampung Bedilan yang di kemudian hari di-adakan secara rutin pada tiap bulannya di tempat tersebut. Majlis ini di-isi dengan pembacaan Manaqib Syaikh Abdul Qodir al Jilany, pembacaan Maulid, dan tanya jawab keagamaan. Majlis ini awalnya diberi nama jamaah KACA yang merupakan akronim dari Karunia Cahaya Agung. Namun agar lebih familiar, Gus Rori menyebut anggota jamaah KACA dengan sebutan Orong-Orong. Secara harfiah, Orong-Orong adalah binatang melata yang biasa keluar pada malam hari. Secara filosofis, pemberian nama semacam ini disesuaikan dengan perilaku anak-anak muda pengikut Gus Rori yang rata-rata memang mempunyai kebiasaan keluar pada waktu malam hari. Dalam perkembangannya, nama Orong-Orong ini kemudian menjadi lebih terkenal dibandingkan dengan nama KACA. Dan jamaah Orong-Orong inilah yang kelak, di kemudian hari ‘bermetamorfosis’ serta menjadi embrio dari lahirnya jamaah Al Khidmah.
Meski masih muda, ketokohan Gus Rori yang kharismatik dan netral serta sikap Beliau yang non partisan terhadap kelompok Islam tertentu ataupun terhadap partai politik tertentu, pada akhirnya membuat Beliau sangat disegani oleh berbagai kalangan masyarakat dari strata sosial serta kelompok yang berbeda-beda. Majlis-majlis Beliau bersifat inklusif serta terbuka bagi siapapun dan dari kelompok manapun. Sehingga, karena tidak adanya kesan eksklusivisme ini, tak mengherankan jika dalam majlis-majlis yang Beliau pimpin, para pejabat sipil maupun pemerintahan yang notabenenya mempunyai pandangan keagamaan atau politik yang berbeda-beda, sering kali bisa terlihat rukun serta mau untuk duduk bersama-sama dalam sebuah majlis.
Pada tahun 1983, Gus Rori mendirikan mushola di Kelurahan Tanah Kali Kedinding. Dalam perkembangannya, ternyata banyak masyarakat sekitar yang antusias serta tertarik untuk memondokkan anak-anak mereka di kediaman baru Gus Rori tersebut. Akhirnya, Gus Rori mendirikan masjid dan pondok pesantren yang kemudian diberi nama Pondok Pesantren As Salafi Al Fithrah.

www.kabarmadrasah.com

Terima kasih telah membaca artikel ini, Semoga bermanfaat.
jangan lupa baca artikel :Al-Khidmah Kudus

Untuk melihat lebih jauh tentang semua postingan blog kabarmadrasah ini,, silakan kunjungi Daftar Isi ] 
Semoga bermanfaat dan jangan lupa  tombol like , Terima Kasih
Comments
0 Comments

No comments:

Designed Template By Blogger Templates - Powered by Kabarmadrasah.com