Madrasah hebat bermartabat- Lebih baik madrasah - Madrasah lebih baik

Breaking News

02 November 2017

Khususi ( Bagian 1 )

Level seorang muslim dalam beribadah atau dalam menempuh ‘perjalanan’ spiritualnya terbagi menjadi tiga. Pertama, level syariah atau Islam. Yaitu ketika ibadah seseorang masih sebatas pada urusan sah atau tidak sah. Standar yang ditetapkan oleh orang yang berada di level ini simpel saja: yang penting syarat serta rukun dari ibadahnya terpenuhi dan tercukupi dari sudut pandang ilmu syariah atau Fiqh. Masalah lain di luar itu seperti khusyu’ atau tidak, tak terlalu diambil pusing oleh orang-orang yang berada di level ini.
                Yang kedua adalah level thariqah atau Iman. Yaitu ketika dalam ibadahnya, seseorang sudah bisa memurnikan niat dan tujuan, semata-mata hanya karena Allah SWT. Dalam beribadah, ia tak lagi bertendensi pada hal-hal yang mungkin masih menjadi tujuan dari orang-orang yang berada pada level syariah seperti mengharapkan surga atau takut neraka. Orang yang berada pada level thariqah mempunyai tujuan yang lebih bernilai dari sekedar keinginan yang bersifat ‘matre relijius’ seperti itu. Tujuan dari ibadahnya semata-mata hanya karena mengharap ridla Allah SWT.
                Yang ketiga adalah level haqiqah atau Ihsan. Pada level ini, seseorang sudah bisa bermusyahadah. Artinya, dalam setiap ibadahnya, ia bisa dan mampu menyaksikan (kebesaran dan keagungan) Allah SWT. Kalaupun tak bisa seperti itu, dalam setiap ibadahnya, bahkan dalam setiap gerak-geriknya, ia selalu merasa disaksikan oleh Allah SWT. Karena senantiasa merasa disaksikan secara langsung oleh Allah SWT inilah, iapun juga selalu berusaha untuk total dan maksimal dalam beribadah, baik dari segi batiniah apalagi dari segi lahiriah.
                Terkait dengan tiga level tersebut, Beliau RA memberikan suatu gambaran atau perumpamaan. Agama (Islam) diumpamakan seperti sebuah kebun. Sedangkan syariat adalah dinding atau pagarnya. Thariqah adalah rindangnya pepohonan di dalam kebun tersebut. Yang terakhir, haqiqah adalah buah yang dihasilkan oleh pepohonan yang rindang tadi.
                Apalah artinya seseorang yang punya kebun tapi tak ada pagarnya?. Tentu perkebunan tersebut menjadi berisiko, terutama oleh gangguan-gangguan bersifat eksternal seperti penjarahan oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab atau minimal oleh binatang ternak milik tetangga yang sedang kelaparan. Pada akhirnya, pertumbuhan pepohonan yang ada di kebun tersebut menjadi terhambat bahkan tidak menutup kemungkinan akan menjadi mati. Orang yang beragama Islam namun tak menjalankan syariat pun juga seperti itu. Hati dan jiwa spiritualnya akan gersang bahkan mati karena tak pernah ‘disirami’ oleh ibadah.
                Apalah artinya sebuah kebun, kalau pepohonan yang tumbuh di sana tidak rindang dan tidak subur?. Tentu ia menjadi kurang begitu berarti sebagaimana seorang yang rajin shalat, namun ia tidak atau belum bisa merasakan kenyamanan dari shalatnya tersebut.
                Apalah artinya pula kebun tersebut rindang namun di sisi lain ia tak bisa berbuah?. Tentu akan banyak yang menyayangkannya. Sebagaimana sangat disayangkannya seorang yang sudah bisa merasakan lezatnya ibadah, tapi tidak ada progress atau peningkatan dari ibadahnya tersebut, atau kalaupun tak begitu, ibadahnya tak bisa memberikan pengaruh positif dalam perilakunya sehari-hari.
                Yang terakhir, apalah artinya kebun yang rindang dan telah berbuah, namun tak ada pagarnya?. Tentu ini sama berisikonya seperti yang awal tadi. Seseorang yang sudah berada di level thariqah atau haqiqah namun tak mau menjalankan syariah pun juga berisiko. Minimal ia akan disalah pahami oleh orang-orang di sekitarnya sebagai orang yang tak taat terhadap aturan agamanya. Ketiga level tersebut idealnya selalu dikombinasikan dan tak hanya dipilih salah satunya saja. Sebab ketiganya memang saling terkait dan saling melengkapi satu sama lain.
                Nah, thariqah itu adalah ilmu yang berhubungan dengan rasa di dalam hati para pelakunya. Rasa yang dimaksud di sini adalah perasaan nyaman dan tenang ketika melakukan ibadah atau ritual tertentu. Perasaan semacam ini tentu tak bisa diperoleh dari seminar-seminar tasawuf dan lainnya yang bersifat formal atau ilmiah. Ia bisa diperoleh dengan beramal atau melakukan ibadah tertentu secara kontinyu [baca: mujahadah]. Artinya, langsung dipraktikkan dan tak hanya diteoritisasikan dalam majlis-majlis ilmiah saja.
                Tujuan hidup –menurut Beliau RA— ada dua; untuk beribadah kepada Allah SWT dan untuk memenuhi kebutuhan hidup sebagai penunjang agar bisa tenang dan lancar dalam beribadah. Tujuan hidup yang pertama [baca: beribadah] dikatakan ideal atau sesuai standar kalau dalam beribadah, seseorang sudah bisa merasakan kenyamanan atau sudah bisa merasakan lezat-manisnya ibadah. Caranya adalah dengan ‘pintar’ istiqamah dalam beribadah dan tidak hanya pintar secara ilmiah.  Selain itu, orang yang ingin mempertajam perasaannya juga harus mau berkumpul dengan orang-orang shalih dan kemudian mencari guru pembimbing atau mursyid. Sebab kalau tak ada Guru yang membimbing, dikhawatirkan gurunya adalah setan. Orang-orang yang bisa seperti itu –mau ngumpul bersama orang-orang shalih dan punya guru mursyid–, mungkin dari segi teori ilmiah mereka tak bisa disebut pandai/pintar. Tapi dari segi amaliah, level mereka jauh di atas para akademisi yang hanya membicarakan tasawuf secara ilmiah saja, tapi tidak atau belum mempraktikkannya. Sebab yang dinilai oleh Allah SWT memang amal seseorang, bukan ilmunya!. Allah SWT berfirman dalam surat Al Mulk ayat 2 yang artinya: “Dialah Tuhan yang menciptakan hidup dan mati untuk menguji kalian semua: siapa di atntara kalian yang paling bagus amalnya?.” Dari sini bisa disimpulkan bahwa tasawuf ‘amali lebih baik daripada tasawuf ‘ilmi. Tentu kondisi yang paling ideal adalah beramal sekaligus berilmu. Artinya, apa yang telah diamalkan dalam thariqah, kemudian juga diusahakan untuk bisa diketahui teori ilmiahnya. Tapi kalau harus memilih salah satunya saja karena situasi dan kondisi memang tak memungkinkan untuk itu –misalnya karena sudah udzur seperti kebanyakan jamaah kita yang sudah sepuh-sepuh–, tentu memilih tasawuf ‘amali adalah pilihan paling bijak.
                 Tujuan hidup yang kedua adalah memenuhi kebutuhan hidup. Tentu ini ada kaitannya dengan rizki. Kondisi ideal dari hal yang berhubungan dengan rizki ini adalah ketika seseorang sudah bisa menerima serta merasa cukup dengan rizki yang telah ia peroleh dari usahanya (‘izzul qana’ah). Sekaya apapun seseorang, tapi kalau dia belum bisa merasa cukup dengan kekayaannya, maka hatinyapun juga masih belum bisa merasakan ketenangan. Dalam hal ini, ia sebenarnya adalah orang yang miskin (hati). Sebaliknya, meskipun secara dhahir mungkin seseorang tidak bisa dibilang kaya –bahkan mungkin terlihat hidup serba kekurangan–, tapi kalau hatinya bisa merasakan cukup, maka dia sebenarnya adalah orang yang kaya (hati).

Sumber: Transkrip Pengajian Romo Yai Asrori RA: Apa Itu Khushushi? (Bagian I)

Comments
0 Comments

No comments:

Designed Template By Blogger Templates - Powered by Kabarmadrasah.com