Pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya pada diri sendiri: sebenarnya kita ini sedang berada di posisi yang mana sebagai seorang pendidik?
Banyak guru yang merasa cukup dengan datang ke kelas, menyampaikan materi, memberi tugas, lalu pulang. Itu artinya kita masih berada di tahap ta’lÄ«m — mengajar dalam arti paling dasar. Murid hanya menerima informasi, mendengar suara kita, mencatat, lalu menghafal. Tapi, sering kali semua itu hanya lewat di telinga tanpa sempat menempel di hati.
Kalau kita mulai melangkah sedikit lebih jauh, kita bukan hanya menyampaikan kata, tapi juga memberi makna. Kita tidak hanya berkata, “ini rumus, ini arti kata,” melainkan membantu murid memahami alasan di baliknya. Inilah yang disebut tafhÄ«m. Ilmu yang awalnya hanya tulisan di papan tulis, berubah menjadi cahaya yang memberi arah, yang bisa mereka gunakan dalam hidup.
Namun perjalanan guru tidak berhenti di sana. Mengajar itu butuh kesabaran panjang. Saat kita sabar mendampingi anak-anak dalam proses pembiasaan, ketika kita menuntun mereka membangun akhlak, menanamkan nilai, dan membentuk karakter, maka sebenarnya kita sedang ada di tahap tarbiyah. Inilah fase di mana guru benar-benar hadir sebagai pengasuh jiwa.
Ada satu kisah sederhana. Seorang murid suatu hari tidak mengerjakan PR. Bukannya langsung dimarahi, gurunya justru bertanya pelan, “Kenapa tidak dikerjakan, Nak?” Ternyata si anak mengaku semalam membantu orang tuanya berjualan sampai larut. Dari situ sang guru mengerti bahwa pendidikan bukan hanya soal disiplin, tapi juga soal empati. Besoknya, si guru bukan hanya memberi PR baru, tapi juga menanamkan pelajaran tentang tanggung jawab—dengan cara yang lebih manusiawi. Itulah tarbiyah.
Lalu, ada tahap yang lebih tinggi lagi: ta’dÄ«b. Di sini guru tidak hanya bicara, tapi memberi contoh. Murid belajar bukan hanya dari penjelasan, melainkan dari apa yang mereka lihat langsung. Ucapan kita sejalan dengan sikap kita, perintah kita disertai kasih sayang. Kadang, sebuah pelukan lebih bermakna dibanding seribu nasihat. Bahkan doa yang kita panjatkan, bisa jadi lebih kuat pengaruhnya dibandingkan semua metode mengajar yang kita kuasai.
Saya teringat cerita lain. Ada seorang guru yang setiap pagi menyapa murid-muridnya dengan senyum hangat, menyalami mereka satu per satu. Murid-murid merasa dihargai, merasa disayangi, bahkan sebelum pelajaran dimulai. Di kemudian hari, murid-murid itu meniru kebiasaan sang guru: mereka terbiasa menyapa, ramah, dan penuh hormat. Itulah contoh ta’dÄ«b—teladan yang mengakar jauh lebih dalam dibandingkan sekadar teori di buku.
Nah, sekarang mari kita jujur pada diri sendiri.
Apakah kita sudah sampai pada peran sebagai teladan, atau masih sebatas penyampai materi?
Apakah kita sudah mendidik dengan cinta, atau masih hanya sekadar menegur dengan suara lantang?
Apakah kita sudah benar-benar menapaki jalan tarbiyah dan ta’dÄ«b, atau jangan-jangan selama ini kita hanya mengajar sekadar memenuhi kewajiban, bahkan mungkin karena tuntutan jam ngajar semata?
Menjadi guru sejatinya bukan hanya soal rutinitas, tapi soal dedikasi. Bukan sekadar menyampaikan, tapi menghidupkan ilmu. Bukan hanya tentang memberi tahu, tapi juga menuntun dengan hati.
Mari kita bayangkan: suatu hari, murid-murid kita sudah dewasa, sukses dengan jalannya masing-masing. Ketika mereka mengenang masa sekolah, guru seperti apa yang akan mereka sebut namanya dengan penuh haru? Guru yang hanya menyuruh dan menegur, atau guru yang mengasihi dan menginspirasi?
Kita tidak pernah tahu doa murid mana yang menembus langit karena didikan kita. Bisa jadi senyum sederhana yang kita berikan hari ini menjadi alasan Allah memudahkan jalan mereka esok.
Maka, mari terus berbenah. Jadilah guru yang dirindukan, bukan hanya guru yang diingat. Jadilah cahaya yang menuntun, bukan sekadar suara yang lewat di telinga. Karena sejatinya, guru yang baik bukan hanya mencetak murid pintar, tetapi juga menumbuhkan manusia yang berakhlak mulia.