Madrasah hebat bermartabat- Lebih baik madrasah - Madrasah lebih baik

Breaking News

19 December 2019

Pak Kamad dan Aplikasi Raport Digital (ARD)

Usai balik dari warung Mak Atun, Buk Imah meletakkan belanjaannya di atas sebuah nampan, kemudian mengupas singkong untuk diparutnya.

“Ini lho, Bah…  Nugget tradisional kesukaan Kenang. Untung ya, Bah… Kenang itu maem-nya ndak neko-neko. Tahu tempe juga doyan, oseng angkung apalagi, terus Kenang juga ndak pernah ngeluh ini itu.”

Sembari nyeruput kopi, Pak Muhammad alias Pak Kamad terkekeh mendengar istrinya yang nerimonan.

“Alhamdulillah, Itu namanya rejeki, Umi… istilahe barokah!”

“Oh ya, Bah. Tadi pas di warung Mak Atun, Umi diwaduli sama Ibuk-Ibuk.”

“Wadul nopo, Mi? Soal Abah ngajarnya?”

“Yo ndak to, Bah! Abah ini super pokoknya. Tadi Bu Suci bilang, heran lho sama nilai Rayhan anaknya. Lha wong di rumah itu kalau disuruh sinau saja susahe pol. Itu nilainya bisa dapat predikat B dan C. Angkanya juga bagus-bagus.”

“Owalah, gitu to, Mi?” Pak Kamad mengerutkan dahi.

“Njeh, Bah. Wong Bu Suci sampe bilang ayem, kok. Dia jadi ndak usah kehilangan banyak waktu untuk nyinauni Rayhan karena bisa konsen njahit pakaian yang diambil dari konveksi Kaji Halim.”

“Ooooh.” Pak Kamad kembali menyeruput kopi yang belum mengampas.

“Kok datar wae ekspresi Abah? Umi saja seneng, berarti Abah berhasil.”

“Gitu yo, Mi?”

“Iya to, Bah! Bu Darti juga gitu, Si Bahlul anaknya…”

“Bahrul, Mi. Bukan Bahlul. Salah sehuruf bisa fatal.”

“Yo kuwilah jenenge… Anaknya Bu Darti itu pas besoknya mau ulangan saja ndak bisa lepas dari hape. Disuruh sinau ndak mau. Tapi ya bisa dapat nilai C. Suweneng pol Bu Darti, Bah. Ndak ada nilai merahnya.”

“Ooooh.”

“Lha respon Abah kok cuman ah oh ah oh ko piye to, Bah?”

“Lha kudu piye to, Mi. Begini, Mi… Abah sendiri juga dilematis. Kadang teknologi yang disuguhkan, baik itu berupa aplikasi raport yang sudah menyentuh era digital ini… Kok ya kadang ada sesuatu yang bertentangan dengan hati kecil Abah.”

“Dalam proses nggarap Umi setuju, Bah. Lha Abah ngadepi laptooooop terus. Biasane bisa bantu-bantu Umi pekerjaan rumah. Nek sudah malam banget juga Abah langsung merem.”

“Itu hanya salah satu yang Abah rasakan, Mi. Kadang Abah mbatin sendiri, dalam proses keluarnya nilai anaknya Ibuk-Ibuk yang wadul Umi tadi, ada semacam pertentangan batin Abah. Kalau boleh jujur, Mi. Memberi nilai apa adanya juga ada beberapa efek yang kurang baik ke belakang. Standar nilai yang ditetapkan jujur ada beberapa anak yang belum bisa memenuhi. Dampaknya adalah predikat dibawah C, dengan kata lain D. Ini kalau istilah zaman dulu nilai merah. Sangat riskan kalau memberi nilai merah di zaman sekarang. Predikat raport di anak juga menjadi penilaian akreditasi madrasah juga kok, Mi. Predikat D di raport siswa itu tetap beresiko. Resiko kejiwaan anak juga karena semacam klaim tidak bisa alias tertinggal. Lha makanya atas kesepakatan semua dewan guru, predikat D tidak ada. Dengan kata lain satu dua anak tetap ada nilai katrolan.”

“Mbuh lah, Bah. Umi kurang faham dengan istilah-istilah kuwi. Tapi mudeng apa yang Abah maksudkan.”

“Dilematis, Mi. Seperti tadi yang Umi bilang, malah orang tua pada ayem. Berbeda ketika dulu leluasa menyemat angka merah di raport. Orang tua memiliki pukulan tersendiri. Lebih bisa ikut bekerjasama ndandani anak. Sekarang… Sepertinya ketakutan orang tua yang terbesar itu ndak bisa membelikan anaknya hape canggih  Atau takut si anak kurang bahagia karena tertekan pelajaran. Alasan psikologis anak dan lain-lain. Bagus sih, Mi… Kalau orang tua tetap membaca psikologis anak, tapi jangan itu didewakan, dan akhirnya anak semakin memprihatinkan.”

 “Kalau nilai Kenang, Bah? Apa ya sama dalam prosesnya?”
Pak Kamad terkekeh,

“Wehehehehhhh…. Ya ndak semua anak katrolan to, Mi. Banyak juga yang bisa memenuhi standar nilai itu. Yen Kenang kuwi cerdas koyo Umi-ne.”

“Koyo Abahe to, Bah. Lha wong Umi cuma IRT kok!”

“Lha meski Ibu Rumah Tangga, Umi itu yang cerewet soal pelajaran Kenang. Mbaca jadual yang ada Tematik, kuwi lho opo? Buku paket kok dicampur-campur kayak pecel. Itu sebenarnya juga keluhan Abah dan teman-teman. Lha wong saat pembelajaran, berbagai mata pelajaran jadi satu dalam tema yang sama. Ulangan juga demikian. Tapi masuknya di penilaian ke raport harus dipisah, IPA sendiri, IPS sendiri, besoknya kalau kelas enam juga ujiannya per mata pelajaran, jadi dipisah lagi, iki kok cilik’anku wayah sekolah malah ndasku mbledhos.”

“Umi kemarin-kemarin juga pengen mbledhos pas Abah sedikit-sedikit laptop, sedikit-sedikit laptop, bangun tidur laptop, sudah semacam istri kedua Abah pokoknya Umi ini.”

“Hahahahaha…. Kudu ngakak Abah iki nyawang Umi cemburu. Lha piye jal? Laptop dicemburuni?”

“Abaaaaahhhh!!!!!” Sebuah cubitan didaratkan sang istri pada Pak Kamad.

“Waduh nanti malam wae to, Mi nek mau nyubit-nyubit.”

“Habis Abah ngelantur.”

“Biar ndak spaneng kayak Umi pas nonton sinetron to, Mi. Oh ya, Mi. Memang Abah rasakan, sepertinya ruh dunia pendidikan itu kok cenderung marem zaman dahulu ya, Mi? Guru juga lebih maksimal tanpa dihabiskan waktunya dengan urusan administrasi mengajar.  Ah sudahlah… Balik lagi pelaksana kebijakan hanya menjalani. Wong yang mbuat kebijakan itu rapatnya juga digaji, menetapkan kebijakan dan merubahnya juga digaji, mungkin kurang marem yen kurikulum ora digonta ganti. Tapi meski gitu, Mi. Yang penting tresno Abah ke Umi tak pernah ada yang bisa ganti.”

“Abaaahhhhh!!!” Kembali sebuah cubitan yang bertubi-tubi dari istri tercinta mendarat pada Pak Kamad yang mengurai tawa khasnya.
(bersambung)
Redaksi by : Yani

Baca Juga




www.kabarmadrasah.com

Terima kasih telah membaca artikel ini, Semoga bermanfaat.
jangan lupa baca artikel : Menyemai kader nahdhiyyah dengan Tahlil
Comments
0 Comments

No comments:

Designed Template By Blogger Templates - Powered by Kabarmadrasah.com